hijrah dalam pembenukan diri

“Bahwasanya semua amalan (aktifitas) manusia tergantung niatnya, dan bahwa bagi tiap-tiap orang (balasannya) tergantung niatnya, barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu akan mencapai (ridha) Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa yang hijrahnya kerena kepentingan dunia atau karena untuk menikahi seorang wanita, maka pahalanya sesuai dengan tendensi hijrahnya tersebut”.
(H.R. Dua Imam Muhaddist, Bukhari dan Muslim, dari Amirul Mukminin Umar ibn Khattab)

<
Hadist di atas sudah tidak asing lagi bagi kita, namun ketika membaca serta memaknai kembali seakan kita baru mendengarnya, apalagi hadist tersebut dikaitkan dengan kehidupan kita sekarang yang seakan-akan hampir sudah tidak memiliki orientasi ukhrawi. Para Ulama telah sepakat semisal Imam Asy Syafi’i dan yang lainnya, ketika mengomentari bahwa hadist ini merupakan sepertiga ilmu. Sebab, ia menerangkan tentang pangkal dari perbuatan manusia, yaitu niat. Niatlah yang menentukan diterima dan tidaknya sebuah amalan. Oleh karena itulah, memaknai, memahami serta mengamalkan hadist ini amatlah penting bagi seorang muslim.
Salah satu makna terpenting dari hadist yang dapat kita ambil, yakni makna hijrah. Hijrah dari akar kata hajara-yahjuru artinya meninggalkan, memutuskan. Meninggalkan Makkah menuju Madinah, sebagaimana yang dilakukan para Sahabat atau meninggalkan Makkah menuju Habasyah. Namun Rasul bersabda “tidak ada hijrah setelah fathu Makkah (panaklukan Makkah)”. Akan tetapi hijrah di sini dalam arti yang lebih umum yaitu meninggalkan atau memutuskan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt.
Terdapat korelasi yang sangat erat sekali antara makna hijrah dengan membangun kepribadian muslim. Sebab selain mengandung makna di atas, makna hijrah memiliki dimensi semangat melakukan perubahan (taghyir). Artinya pribadi muslim adalah pribadi yang selalu melakukan perubahan dalam dirinya. Kata muslim secara harfiah berasal dari kata dasar salima yaslamu yang artinya selamat, kemudian dibentuk kata aslama yuslimu islaman yang bermakna masuk Islam. Jadi, Muslim berarti ‘orang yang masuk Islam’ (orang yang selalu menyelamatkan dirinya dengan melakukan suatu perubahan). Dengan maksud perubahan dengan meninggalkan atau memutuskan segala sesuatu yang dilarang Allah menuju kepada segala hal yang diperintahkan Allah Swt, yaitu syari’at Islam. Allah Swt. berfirman yang artinya;
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Q.S. ar-Ra’d [13] : 11)
Perubahan banyak perubahan, namun perubahan yang paling mendasar yakni kesadaran eksistensi diri manusia sebagai hamba Allah Swt. Karena kesadaran ini mendorong kepada kesadaran penghambaan atau beribadah kepada-Nya. Imam al-Ghazali membagi tingkatan hamba berdasarkan tingkat kesadaran penghambaannya kepada Allah, antara lain; Pertama, hamba yang selamat (‘abdun salim), yaitu hamba yang mencukupkan pada pemenuhan kewajiban semata dan tidak melakukan maksiat, seperti shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, dll. Kedua, hamba yang beruntung (‘abdun rabih), yaitu hamba -selain memenuhi kewajiban- yang memperbanyak amalan-amalan sunnah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan tidak melakukan maksiat. Ketiga, hamba yang rugi (‘abdun khasir), yaitu hamba yang melalaikan kewajiban-kewajiban, seperti shalat, puasa dan lain-lain.
Kemudian Imam al-Ghazali memberikan nasehat dengan mengatakan “apabila kamu tidak bisa menjadi hamba yang beruntung, maka berusahalah menjadi hamba yang selamat. Dan jauhkanlah dirimu dari menjadi hamba yang rugi”.
Makna hijrah akan terasa lebih bermakna apabila disertai dengan aspek taubat. Taubat secara harfiah bermakna ‘kembali’. Secara definitif, taubat adalah kembalinya seorang hamba dari sifat-sifat tercela menuju kepada sifat-sifat yang terpuji. Artinya meninggalkan segala sifat-sifat kehinaan menuju sifat-sifat kemuliaan. Rasulullah bersabda “Matilah sebelum kamu semua mati”. Dengan kata lain “Kembalilah sebelum kamu benar-benar kembali”. Seorang pribadi muslim ketika telah terbimbing secara benar akan eksistensi dirinya sebagai hamba Allah, maka ia akan melakukan pelayanan yang layak disertai kesadaran dan kemauan untuk Allah semata dan diridhai-Nya. Sehingga dalam dirinya akan senantiasa terbangun jiwa untuk selalu bertaubat atau kembali dari peribadatan yang tidak layak dan selayaknya sebagai hamba menuju peribadatan yang pantas dan layak sebagai hamba Allah yang sejati.
Rasulullah Saw. bersabda “Orang yang cerdas adalah orang yang menghambakan dirinya dan berbuat yang akan ada sesudah mati”. Pribadi muslim adalah seorang yang berkepribadian cerdas yang selalu nampak dalam dirinya sikap penghambaan kepada Allah Swt, menyerahkan serta mengembalikan segala urusannya kepadaNya, meninggalkan sifat-sifat tercela dan berhiaskan dengan sifat-sifat yang terpuji, sebagaimana sabda Rasulullah “Berakhlaklah kalian dengan sifat-sifat Allah Swt”. Dan juga nampak dalam dirinya sikap dan keputusan yang selalu menuai keberuntungan dalam hidup dan kehidupannya, apakah hal itu berkenaan dengan dunia maupun akherat, dengan selalu mengembalikan dan menyerahkannya kepada Allah Swt.
Hijrah seorang pribadi Muslim di sini bermakna kembalinya atau keluarnya seorang jiwa dari kekangan nafsu binatang badaniahnya, dan menaklukkannya dengan selalu melakukan perubahan (intropeksi diri ) dan peningkatan kualitas ibadah. Jiwa pada pribadi seperti ini dikatakan jiwa rasional. Jiwa yang telah mampu mencapai kebebasan dalam arti telah memenuhi tujuan penciptaan dan kehadirannya; mencapai kedamaian tertinggi, merdeka dan bebas dari belenggu nasib yang kejam, bebas dari perselisihan yang gaduh serta neraka kejahatan manusia. Jiwa rasional yang telah terbangun di dalam istana spiritual, dalam al-Qur’an disebut dengan al-nafs al-muthmainnah. Allah Swt. berfirman;
Hai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku. (Q.S. al-Fajr [89] : 27 - 30)

Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Posting Komentar

jang puas dengan apa yang ada di blog ini, berikan komentar anda?