MODERNISME

Tantangan mendasar yang dihadapi umat islam dewasa ini sebenarnya bukan berupa ekonomi, polititk, sosial dan budaya, tapi tantangan pemikiran. Sebab persoalan yang timbul dalam bidang-bidang terkait lainnya, jika dilacak, ternyata bersumber pada persoalan pemikiran. Tantangan pemikiran itu bersifat internal dan eksternal sekaligus. Tantangan internal telah lama kita sadari yaitu kejumudan, fanatisme, taqlid, bidah kurafat. Sebagaimana akibatnya adalah lambatnya atau semberononya proses ijtihad umat islam dalam merespon berbagai tantangan kontemporer, lambatnya perkembangan ilmu pengetahuan islam dan pesatnya perkembangan aktifisme. Sedangkan tantangan eksternalnya adalah masuknya paham, konsep, sistim, dan cara pandang asing seperti liberalisme, sekularisme, pluralisme agama, relativisme, feminisme & gender dan lainya sebagainya kedalam wacana pemikiran keagamaan islam. Dan sebagai akibat tantangan eksternal adalah bercampurnya konsep-konsep asing kedalam pemikiran dan kehidupan umat islam, sehingga kerancuan berfikir dan kebingungan intelektual tidak dapat diletakkan. Mereka yang terhegemoni oleh framework yang tidak sejalan dengan islam ini, misalnya, akan melihat islam dengan kaca mata sekuler, liberal dan relativistik.

Meski tantangan kedua tantangan tersebut perlu dibahas secara mendalam dan serius, namun tantangan yang sangat urgen untuk dibahas, dihadapi dan direspon saat ini adalah tantangan eksternal umat islam, khususnya tantangan liberalisasi pemikiran umat Islam. Tantangan yang kini sangat gencar disebarkan melalui berbagai media komunikasi dan pendidikan itu tenyata tidak berdiri sendiri. Ia merupakan program yang sejalan dengan dokrin postmodernisme yang mengusung dokrin relativisme, nihilisme, prularisme, persamaan, feminisme & gender dan lain sebaginya.
BAB II
Istilah “modern” berasal dari bahasa latin yaitu “modo” yang berarti yang kini (just now). Meskipun istilah ini sudah muncul pada akhir abad ke-5, yang digunakan untuk membedakan keadaan orang Kristen dan orang Romawi dari masa pagan yang telah lewat, namun istilah ini kemudian lebih digunakan untuk menunjukan priode sejarah setelah Abad Pertengahan, yakni pada tahun 1450 sampai sekarang ini .
Sejarah perkembangan peradaban Barat memang telah melewati masa yang sangat panjang, yakni kurang lebih dari dua puluh lima abad. Perkembangan yang panjang itu oleh parah ahli sejarah dibagi dalam menjadi tiga priode, yaitu
1. Priode encient (kuno)
2. Priode medival (pertengahan)
3. Priode modern (maju)
Pembagian ke dalam tiga priode tersebut disebabkan adanya perubahan dan perkembangan yang jelas mebedakan antara priode yang satu dengan priode yang lainnya. Kajian sejarah telah menunjukan bahwa ada perbedaan yang sangat menonjol yang menandai priode satu berbeda dengan priode yang lain, utamanya menyangkut perbedaan konsepsi manusia mengenai hidup dan sikap pemikirannya.
Priode modern sejarah perkembangan perdaban barat, bukanlah sebuah priode yang muncul begitu saja diruang hampa, melainkan ada keterkaitan dengan priode-priode sebelumnya. Dan pada abad ke-IV dan XVI, manusia barat modern ingin melepaskan diri dari dominasi gereja yang sedemikian rupa mendukung kebebesannya. Dengan kebebasan itulah manusia barat modern mampu mengembengkan perdabannya sedemikian cepat, sehingga mencapai kemajuan seperti sekarang ini. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa yang menjadi elan vital dari kemajuan barat modern adalah pandangan dunianya yang menekankan sentralnya peran akal, kebebasan dan otonomi manusia. Dengan itu, manusia Barat dapat menciptakan dan menentukan dunianya, membuat sejarah dan masa depanya sendiri.

Modern bukanlah sekadar suatu priode, melainkan pandangan dunia atau prinsip metafisis (ONTOLOGIS). Oleh karena itu, dunia modern diartikan sebagai draff dunia yang dominasi oleh pandangan dunia modern. Dengan perkataan lain, dunia modern merupakan prinsip-prinsip modern dalam kehidupan manusia atau masyarakat.
Menurut parah ahli sejarah, awal terjadi pristiwa modern ditandai dengan pergeseran teosentris ke antroposentris dalam kehidupan masyarakat. Pergesran tersebut merupakan suatu hal khas barat atau dunia kristiani. Oleh karena itu, pergeseran tersebut sama dengan mengatakan terjadinya pergeseran otoritas yang awalnya dimonopoli oleh gereja, kemudian ke individu. Akan tetapi, secara umum pergeseran tersebut bisa dimaknai, jika menggunakan sudut pandang kalangan perenialis, lepas atau tercabutnya dimensi spiritual dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut adalah cirri-ciri dari dimensi metafisis dan filosofis modern.
Adapun dari karakter sains modern, pergeseran terjadi dari pelacakan jejak tuhan ( vestigia Dei ) dalam penaklukan alam. Sains modern pada prinsipnya merupakan narasi penaklukan atau penundukan. Penaklukan atau penundukan dalam hal ini dipandang dari segi alam dan perempuan . Alam dilihat sebagai sesuatu yang kacau, tidak tertata, dan irasional. Oleh karena itu, Alam dan Perempuan harus ditundukkan atau ditaklukkan. Sebelum pandangan dunia modern muncul sebagai fenomena mainstream, sejak zaman neolitikum, masyarakat melakukan domestifikasi alam hanya umtuk keperluan tempat tinggal dan konsumsi. Ketika pandangan dunia modern hadir sebagai suatu hal, niscaya ditengah masyarakat, domenstifikasi alam tidak sekadar untuk memenuhi keperluan tempat tinggal menetap dan konsumsi, tetapi alam secara substansialpun didomenstifikasi. Dari sinilah muncul gagasan civilized dan uncivilized. Persoalan domenstifikasi alam pun turut menjadi suatu. Masyarakat prasejarah yang hidup penuh keharmonisan dengan alam disebut uncivilized karena tidak melakukan domestifikasi penuh terhadap substansi alam.
Penanda modern lain di antaranya, ialah:
a. Munculnya kolonianisme atas nama civilization
b. Revolusi prancis
c. Kapitalisme
d. Komodifikasi
e. Mediasi dalam relasi
f. Mekanisasi kehidupan

Karakter-karakter tersebut pada akhirnya turut memengaruhi bagaimana teologi dalam islam diperbincangkan dan dimaknai. Misalnya, gagasan konflik antara sains dan agama merupakan fenomena barat. Dalam islam, sains dan agama tidak pernah dipertentang sebagai hal mainstream. Ketika teologi islam memasuki diskursus ini, mau tidak mau telah muncul asumsi ( hidden assumption ) bahwa sains dan agama –dalam hal ini islam- bertentangan.
Konsep teologi secara historis merupakan term khas Kristen atau perspektif barat ( western worldvie ). Dalam islam, dikenal konsep atau disiplin kalam yang biasanya dipadankan dengan teologi. Secara historis, teologi dengan kalam memiliki perbedaan.

Setelah berkembang selama hampir empat abad sejak kelahirannya pada abad ketujuh belas, dewasa ini ilmu pengetahuan modern dalam keadaan kritis, paling tidak dengan landasan filosofisnya. Kondisi demikian menyebabkan peradaban modern juga berada dalam kondisi kritis. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ilmu pengetahuanlah yang menjadi tulang punggung peradaban modern. Apabila peradaban modern berada dalam keadaan krisis itu ditulang punggungi oleh ilmu pengetahuan modern, ilmu pengetahuan itu sendiri tidak lain adalah perwujudan eksternal suatu epistemology, yang dalam hal ini adalah epistemology emperisme yang dipelopori oleh Francis Bacon dan epistemologi rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes, yang ciri utamanya adalah dikotomi antara “fakta” dan “nilai”, serta antara “realitas objektif” dan “emosi subjektif”. Oleh karena itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Sardar, bahwa munculnya berbagai macam bencana adalah akibat kesalahan-kesalahan epistemologi barat. Melihat kenyataan seperti itu, dewasa ini banyak pemikir, baik di kalangan pemikir barat sendiri maupun dikalangan pemikir Muslim, yang merasa sangat berkepentingan untuk mengkaji ulang secara kritis terhadap ilmu pengetahuan modern, terutama berkenaan dengan landasan epistemologisnnya, dan berusaha untuk menemukan paradigma ilmu pengetahuan alternative yang diharapkan dapat lebih membahagiaan umat manusia.
Yang dimaksud dengan Ilmu Pengetahuan Modern adalah Model pengkajian alam semesta yang dikembangkan oleh para filosof dan ilmuwan Barat sejak abad ketujuh belas, termasuk seluruh aplikasi praktisnya dalam wiliyah technologi. Secara historis, Francis Bacon (1561-1626) dapat dipandang sebagai orang yang merintis suatu perkembangan besar pada abad ketujuh belas, yaitu dengan meninggalkan ilmu pengetahuan lama dan mengusahakan yang baru. Bacon dapat dipandang sebagai orang pertama yang meletakkan dasar-dasar bagi metode induksi modern dan menjadi pelopor dalam usaha untuk mensistermatisir secara logis prosedur ilmiah .











BAB III
POSTMODERNISME

B. Asal Usul Postmodernisme
Postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernism ataupun kelanjutannya. Sebab postmodernisme sedikit banyak masih berpijak pada modernisme, yang didominasi oleh paham atau pemikiran liberalisme, pluralisme, nihilisme, relatifisme, persamaan, dan pada umumnya anti wordvieu. Jhon lock, salahseorang filosof barat modern mengaskan bahwa ribelarisme rasionalisme, kebebasan, dan persamaan (pluralisme) adalah inti modernisme.
Sebagai gerakan kultural-intelektual, postmodernisme sendiri sudah muncul pada tahun 1960-an, yang bermula dari bidang seni-arsitektur, kita dapat melihat aspek-aspek dan corak tradisional seperti bangunan di pusat ibu kota Jakarta yaitu Gedung Dharmala. hal inilah yang membedakan dengan ciri khas bangunan-bangunan modernisme yang memiliki ciri utama yaitu Gedung yang menjulang tinggi kelangit tanpa banyak variasi sebagi contoh, lhat saja gedung-gedung di kota-kota modern dai New York, Jeddah sampai Jakarta. kemudian merambah kebidang-bidang yang lain, baik itu sastra, ilmu social, gaya hidup (life style), filafat, bahkan juga agama. Gerakan postmodernnisme ini lahir di eropa dan menjalar ke Amerika, serta kemudian keseluruh dunia bagaikan luapan air yang tak terbendung.

B. Struktur Fundamental Pemikiran Postmodernisme
Jika peristilahan filsafat pada umunya hanya terbatas pada dataran kognitif, yang sering kali terlampau abstrak, sehingga sulit untuk dicerna dan dipahami oleh masyarakat luas maka, lain halnya dengan istilah postmodernisme. Istailah postmodernisme, yang sebenarnya juga ada pada dataran kognitif-abstrak, namun kemnuculannya pada masa sekarang ini dengan bukti sejarah yang kongkrit, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat yang luas.
Inti pokok aluran pikiran postmodernisme adalah menentang segala yang berbau kemutlakan dan baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis, serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai aneka ragam sumber.
Menurut dugaan penulis, agaknya jika tanpa dibarengi dengan latar belakang pendalaman dalam diskursus kefilsafatan, agak sulit untuk mencermati alur dan memahami pemikiran postmodernisme baik untuk mengapresiasinya atau mengcounter argumentasinya. Tak pelak lagi orang seperti Ernest Gellner, seorang antropolog inggris menganggap bahwa postmodernisme tidak lain dan tidak bukan adalah relativisme dalam bentuk dan wajahnya yang baru. Akbar S. Ahmed, seorang antropolog dan filosof keturunan india atau Pakistan yang tinggal di London, menambah unsur media sebagai pemicu dan sekaligus bagian yang tak terpisahkan dari wacana postmodernisme.
Secara filosofis postmodernisme juga merupakan yang tidak mempercayai kebenaran obyektif atau saintifik yang menjadi ciri modernisme. Hal ini dapat dilacak dari pemikiran Immanuel Kant (!724-1804), GWF Hegel (1770-1830), dan Karl Marx yang menganggap bahwa masyarakat barat itu progressif, tidak pernah final dan akan menuju kesempurnaan dengan cara evolusi, perkembangan social, pendidikan dan pemanfaatan sains.
Kelahiran postmodernisme juga sebagai reaksi terhadap pemikiran modern yang juga telah berubah menjadi mitos baru. Filsafat modern yang lahir sebagai reaksi terhadap sikap dogmatis abad pertengahan, menurut kaum postmodernisme telah terjebak dalam membangun mitos-mitos baru. Mitos-mitos itu ialah suatu keyakinan bahwa dengan pemikiran filsafat, ilmu pengetahuan, dan aplikasinya dalam teknologi, segala persoalan kemanusiaan dapat terselesaikan. Di sinilah postmodernisme “menggugat” modernisme yang telah mandeg dan berubah menjadi mitos baru.
Istilah postmodernisme telah digunakan dalam demikian banyak bidang dengan meriah. Kemeriahan ini menyebabkan setiap referensi kepadanya mengandung resiko di cap sebagai ikut mengabadikan metode intelektual yang dangka dan kosong.
Abad ke 19 adalah era dimana modernitas mulai dipertanyakan oleh suatu gerakan filsafat yang berpegang pada prinsip yang meragukan bahwa realitas memiliki struktur yang dapat difahami oleh manusia.
Atmosfir pemikiran postmodernisme dapat digambarkan melalui pernyataan bahwa “ segala sesuatu adalah teks, dan materi dasar teks itu yang serupa masyarakat dan bahkan nyaris segala sesutunya difahami sebagai makna, dan makna itu harus didekonstruksi; pernyataan tentang realitas obyektif harus dicurigai. Formulasi Gellner adalah tepat sebab dalam diskursus para pemikir postmodernisme dunia ini dianggap sebagai makna. Bahkan segala sesuatu adalah makna dan makna adalah segala sesuatu, dan hermeneutika adalah “nabinya”. Disisni yang dipentingkan adalah interpretasi realitas obyektif dan bukan realitas obyektifnya. Sebab dalam pemikiran post modernisme kebenaran obyektif telah digantikan oleh kebenaran hermeneutika . artinya dalam kebenaran hermeneutika itu subyektifitas pencari kebenaran, pembaca atau pendengar itu sangat dihargai. Dalam kondisi seperti ini, Ernest Gellner menyatakan bahwa postmodernisme Nampak jelas mendukung paham Relativisme. Kebenaran bagi posrmodernisme adalah kabur, subyektif dan internal, oleh sebab itu mereka tidak menerima kebenaran tunggal, ekslusif, obyektif, eksternal dan transenden.
Atmosfir pemikiran postmodernisme dengan doktrin subyektifitas dan relatifitas kebenaran ini adalah salah satu faktor penting lahirnya paham pluralism dan juga pluralisme agama, yaitu faham yang diusung oleh liberalisme.
Untuk melihat lebih jauh keterkaitan antara alur pemikran postmodernisme dengan pemikiran kontemporer, terlebih dahulu perlu diuraikan secara ringkas struktur fundamental aru pemikiran postmodernisme. Lewat jendela struktur fundamental tersebut, akan dicoba kemudian melihat respon, relevansi dan tantangan yang dihadapi oleh diskursus pemikiran keagamaan secara khusus, lebih-lebih, dalam hubungannya dengan era pertemuan berbagai budaya dan peradaban dunia dalam era globalisasi.
Dalam upaya pemetaan wilayah pemikiran postmodernisme, penulis melihat adanya tiga fenomena daasaryang menjadi tulang punggung arus pemikkiran postmodernisme. Penulis tidak beranggapan bahwa hanya ketiga cirri yang yang akan diuraikan berikut ini yang akan secara mertadapat menerangkan fenomena alur pemikiran postmodernisme, tetapi di sana masih banyak cirri dan fenomena lain yang mungkin lebih patut untuk dipertimbangkan. Adpun ketiga ciri dasar atau yan penulis istilahkan dengan struktur fundamental pemikiran postmodernisme adalah : pertama, deconstruktiosm, kedua, relativism, dan ketiga, pluralism.
Pertama, Deconstruktionism
Para protagonis pemikiran postmodernisme tidak meyakini validitas “konstruksi” bangunan keilmuan yang “baku” yang “standar” yang telah disusun oleh generasi modernis. Standar itu dilihatnya terlalu kaku dan terlau skematis sehingga tidak cocok untuk melihat “realitas” yang jauh lebih rumit. Dalam teori Sosiologi modern , para ilmuan cenderung untuk melihat gejala keagamaan sebagai wilayah pengalaman yang sangat bersifat ‘individual’. Pengalaman keagamaan itu tidak terkait dan harus dipisahkan dari kenyataan yang hidup dalam realitas social yang ada. Jangankan sampai mengaitkanya dengan politik. Pengaitan antara kehidupan beragama dan kehidupan berpolitik dianggap tabu, lantaran demikianlah konsepsi modern (post-enlightenment) sosiologi agama.
Era postmodernisme ingin melihat suatu fenomena social, fenomena keberagamaan, realitas fisika, apa adanya, tanpa harus terlebih dahulu terkurung oleh anggapan dasar dan teori “baku” dan “standar” yang diciptakan pada masa modernisme. Konstruksi atau bangunan keilmuan yang telah susah payah dubangun oleh generasi modernisme yakni era post enlightenment, ingin diubah, diperbaiki dan disempurnakan oleh para pemikir postmodernisme. Upaya-upaya seperti itu dengan sedikit bebas penulis sebut dengan ‘Deconstruktionism’ yakni mempertanyakan ulang teori-teori yang sudah mapan yang sudah standar yang dibangun oleh pola pikir modernism, untuk kemudian dicari dan disusun teori yang lebih relevan untuk memahami kenyataan masyarakat, realitas keberagamaan, dan realitas alam berkembang saat ini jauh dari masa ketika teori-teori yang sudah standar tersebut dibangun.
Kedua, relativism
Menurut Fahmi Zarkasyi dalam bukunya Liberalisasi pemikiran islam, Doktrin relativisme mulanya berasal dari Protagoras, seorang sofis yang berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu. (man is the measure of all things). dizaman Barat postmodern paham ini dicetuskan oleh F. Nietzsche dengan doktrin yang disebut nihilisme yang intinya seperti yang telah dijelakan diatas adalah Relativisme. Dengan doktrin yang sangat ampuh menggusur metafisika dan kebenaran agama itu Nietzsche berani mengeluarkan slogan ‘God Is dead’.
Sedankan menurut Dr. M. Amin Abdullah dalam bukunya Falsafah Kalam di Era Postmodernisme ia mengatakan bahwa, faham relativisme ia dikembangkan atau didoktrinkan pada era modernisme yang kemudian dikritis oleh para ilmuan-ilmuan di era postmodernisme, pemikiran postmodernisme sangat kritis terhadap berbagai uraian atau penjelasan yag bersifat objektif, matematis, absolut, dan universal seperti yang diidealkan dalam bidang keilmuan dan pemikiran falsafah era modernism.
Paham relativsme ini mengajarkan bahwa disana tidak ada lagi nilai yang memiliki kelebihan dari nilai-nilai lain. Agama tidak lagi berhak mengklaim mempunyai kenbenaran absolut, ia hanya difahami sama dengan persepsi manusia sendiri yang relative itu. Oleh sebab itu ia mempunyai status yang kurang lebih sama dengan filsafat. Dari perspektif epistemologi faham relativisme berpegang pada prinsip bahwa kebenaran itu sendiri adalah relative terhadap penderian subyek yang menentukan. Dalam artian bahwa kebenaran itu bersifat subyektifitas atau tergantung dari pelakun pencari kebenaran, pembaca dan pendengar sangatlah dihargai.
Dalam oxford dictionary of philosophy, Relativsme juga dianggap sebagai doktrin global tentang semua ilmu pengetahuan. Disini aspek-aspek sang subyek yang menetukan makna kebenaran itu dapat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah, cultural, social, linguistik dan psikologis. Jika demikan maka ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai atau tidak netral, padahal masyarakat barat yang sekuler meyakini bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai dan netral.
Doktrin ini sangat mempengaruhi cendekiawan muslim pada umumnya dari tingkat mahasiswa bahkan dosen-dosennya, sehingga kini banyak yang hanyut dan menyatakan bahwa ‘kebenaran itu ralatif’, ‘kebenaran itu tidak memihak’. Faham seperti ini sesungguhnya sangatlah jauh dari kebenaran. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh seorang pemikir Islam kontemporer di era sekarang yaitu Seyyed Hossein Nasr, ia secara vocal menentang konsepsi “relativisme” yang dikaitkan dengan hitoricisme. Baginya tidak ada relativisme yang absolute lantaran hal itu akan menghilangkan “normativitas” ajaran agama, tetapi juga tidak ada pengertian “absolute” yang benar-benar absolute, selagi nilai-nilai yang absolute itu dikurung oleh historisitas kemanusiaan itu sendiri.
Ketiga, Pluralism
Akumulasi dari berbagai model dan mode berfikir di atas adalah era yang disebut-sebut dengan era pluralism. Lihatlah segala fenomena yang ada di hadapan kita. Budaya, agama, keluarga, ras, ekonomi, social, suku, pendidikan, ilmu pengetahuan, militer, bangsa, Negara, belum lagi aspirasi politik, semuanya menampakkan wajahnya yang pluralistik.
Era pluralitas ini sebenarnya sudah diketahui oleh banyak orang sejak dahulu kala, namun gambaran era pluralisme saat itu yakni ‘tempo doeloe’, belum sejelas seperti era sekarang. Hasil teknologi modern khusunya dalam bidang transportasi dan komunikasi menjadikan era pluralisme khususnya dalam bidang budaya dan agama ini semakin dihayati dan dipahami oleh banyak orang dimanapun mereka berada.
Mengenai pluralisme pada bagian ini penulis tidak membahasnya secara mendalam, tetapi akan dibahas pada pembahasan selanjutnya secara lebih spesifik.


BAB IV
PLURALISME

A. PENGERTIAN PLURALISME AGAMA
Secara etimologi, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu "pluralisme" dan "agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan "al-ta'addudiyyah al-diniyyah" dan dalam bahasa Inggris "religious pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jama'" atau lebih dari satu. Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha (2005: 11) mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i)
Sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti system
pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.
Adapun tentang agama para ahli sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya-yaitu suatu system kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-sataun atau kelompok-kelompok sosial. Sedangkan kebanyakan pakar teologi, fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang sangat asasi-yaitu sesuatu yang sakral. Dari definisi diatas, maka dapat di tarik suatu pengertian bahwa "pluralitas agama" adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masiang-masing agama.
Namun dari segi konteks dimana "plurlisme agama' sering digunakan dalam studi-studi dan wacana sosio-ilmiah pada era modern ini, memiliki definisi yang berbeda . John Hick, yang dikutip Anis Malik Thoha misalnya menyatakan :
"…pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata cultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transpormasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan hakiki terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata cultural manusia tersebut dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama".
Dengan kata lain, Hick menurut Anis menegaskan sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain.
Majelis Ulama Indonesia mendefiniskan Pluralisme Agama sebagai :
"Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama monoism atau idealisme yang menyatakan bahwa alam seluruhnya adalah gagasan atau idea.”
Pada dualisme, segala sesuatu dilihat sebagai dua. Filsafat Zoroaster misalnya, melihat duania terbagai kepada gelap dan terang, dan Descartes mempertentangkan antara pikiran (mind) dan benda (mater). Pada Pluralisme, segala hal dilihat sebagai banyak .
Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam, Bingkai gagasan yang berserak, (Ed.) Suruin, Bandung :
Penerbit Nuansa, 2005, p.68.6
Adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga". Lebih lanjut Nurchalish Madjid yang dikutip Adian Husaini, dalam majalah Media Dakwah Edisi No. 358 tahun 2005 pluralisme agama adalah istilah khas dalam teologi. Dia juga menyatakan bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil, yaitu pertama, sikap ekslusif dalam melihat agama lain (agama-agama yang lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya; kedua, sikap inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk inplisit agama kita); ketiga sikap pluralis yang biasa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya " Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama", "Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah". Atau ' Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran". Komarudin Hidayat dalam Andito yang dikutif Atang Abdul Hakim dan Jaih Mobarak mengatakan bahwa pluralisme agama merupakan salah satu dari tipe sikap keberagamaan yang secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas, masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat missionaris ataudakwah diangap tidak relevan.
B. Asal Usul Pluralisme Agama
“Bagi Kamu agama kamu , bagiku agamaku “ (QS. Alkafirun : 6 )
Pada tahun 1875 Helena Blavatsky , Henry Steel Olcott, dan William Quan Judge berdiri sebuah organisasi yahudi bernama Theosophical Society di kota New York dengan tujuan mengikat persaudaraan universal tanpa melihat kelompok, bangsa dan agama, di bawah pimpinan Helena Blavatsky, Henry Steel Olcott, dan William Quan Judge.Beberapa tahun kemudian organisasi ini mendirikan International Head Quarters di Adyar,Chennai,India.Di bawah lambang Theosophical Society tersebut tertulis ayat “ There is no religion higher than Truth (Tidak ada yang lebih tinggi dari agama selain kebenaran) “. Sedangkan tujuan utama perhimpunan Theosofi adalah :
1. Mengadakan inti persaudaraan antara sesama manusia tanpa memandang bangsa, kepercayaan, kelamin, kaum atau warna kulit.
2. Memajukan pelajaran dengan mencari persamaan dalam agama-agama, filsafat dan ilmu pengetahuan.
3. Menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat di terangkan dan kekuatan-kekuatan dalam manusia yang masih terpendam.
Oleh sebab itu, Theosophical Society adalah sebuah badan kebenaran yang merupakan dasar dari semua agama, yang tidak dapat dimiliki dan dimonopoli oleh agama atau kepercayaan manapun.Theosofi menawarkan sebuah filsafat yang membuat kehidupan menjadi dapat dimengerti, dan theosofi menunjukkan bahwa keadilan dan cinta-kasihlah yang membimbing evolusi kehidupan.
Gagasan Pluralisme masuk ke dalam waacana pemikiran Islam melalui tulisan-tiulisan Rene Guenon ( 1886 – 1851 ) dan diikuti oleh muridnya Frithjof Schoun. Rene Guenon adalah seorang ahli dari perkumpulan Theosophical Society di Perancis yang didirikan oleh seorang FreeMason Gerrad Encausse (1865-1916). Encause mendirikan Free SchoolOf Heremtic Science, sekolah yang mengkaji masalah misticisme. Pengalaman Spiritual Rene Guenon dalam Theosophical Society dan FreeMasonry mendorongnya untuk mengambil kesimpulan bahwa agama memiliki kebenaran dan bersatu dalam level kebenaran.
Pada tahun 1912, Rene Guenon yang semula beragama Kristen masuk ke dalam agama Islamdan berganti nama menjadi Abdul Wahid Yahya. Dalam tulisan dan buku-bukunya, Rene Guenon menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah dan kebenaran abadi yang ada pada tradisi dan agama-agama yang disebutnya Tradisi Primordial ( Primordial Tradition).
Menurutnya walaupun setiap agama itu berbeda, tetapi semua agama itu memiliki tradisi yang sama, disebut dengan TradisiPrimodial, yang dimiliki oleh semua agama. Perbedaan teknis yang terdapat dalam setiap agama merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan kebenaran.
Menurut guenon, Semua agama termasuk agama Islam, tidak dapat dikatakan benar atau salah dengan cara mengkajiajaran agamanya, sebab semua agama itu mempunyai kebenaran yang terkandung dalam Tradisi Primordial.Semua agama dalam kegiatan ritualnya hanya merupakan cara untuk mencapai Tradisi Primordial. Rene Geunon meninggla pada tahun 1951 di Kairo sebagai seorang muslim dengan nama Abdul Wahid Yahya.
Pemikiran Rene Geunon di teruskan oleh muridnya Frijof Schuon (1907-1998).Sejak berusia 16 tahun, Scuon telah membaca tulisan Geunon “ Orient et Occident “. Kagum dengan pemikiran Geunon, Schuon berkirim surat dengan Geuonn selama 20 tahun. Setelah berkorespodensi sekian lama, akhirnya Scoun berjumpa pertama kali dengan Rene Geunon di Mesir pada tahun 1938, dan masuk islam pada tahun 1948 dengan nama Isa Nuruddin.
Menurut buku “ Trancedentel Unity of Religions” yang di tulis oleh Schoun, agama-agama merupakan salah satu dari tiga wujud utama penjelmaan Zat Yang Mutlak ( Grand Theophanies of The Absolute) yang mempunyai dua hakikat, yaitu : asotric (batin) dan exoteric (dzahir), substansi (substance) dan aksiden (accident), atau essensi (essence) dan bentuk (form), Semua agama bersatu dalam tingkat bathin (esoteric) walaupun berbeda dalam tingkat dzahir (exoteric). Kesatuan agama dalam tingkat bathin inilah yang disebut dengan “kesatuan agama –agama dalam tingkat transedent (trancedent Unity of Religion).
Oleh karena itu setiap agama dalam tingkat lahir, tidak boleh menganggap dirinya mempunyai kebenaran mutlak (absolutely absolute).
Oleh karena itu klaim eksoterik tentang pemilikam kebenaran absolute secara ekslusif merupakan kesalahan murni, sebab pada kenyataannya setiap ungkapan kebenaran meniscayakan suatu bentuk untuk mengekspresikan nya, dan seara metafisik adalah hal yang mustahil bahwa bentuk memiliki sebuah kebenaran absolute yang ekslusif, yakni tidak boleh merupakan satu-satunya ungkapan dari apa yang diungkapkan.
Selanjutnya pemikiran Schoun diikuti , dikembangkan dan diteruskan oleh Sayed Hussein Nasr, seorang Syiah dari Iran yang menetap di Amerika. Menurut Nasr, setiap agama adalah penjelmaan dari model dasar yang merupakan salah satu bagian dari hakikat ketuhanan. Hakikat suatu agama, Seperti Islam dan Kristen, sebagaimana wujudnya dalam sejarahnya, tidak lainsesuatu yang tertulis dalam model dasarnya di alam ideal. Oleh karena itu perbedaan model dasar inilah yang sejatinya menentukan perbedaan tabiat setiap agama, yang menyebabkan timbulnya pluralitas agama. Namun demikian, model dasar ini selalu merefleksikan atau mengekspresikan focus yang tunggal yang terangkum dalam jangkaun lingkaran yang tunggal. Oleh sebab itu setiap agama pada hakikatnya merefleksikan atau mengekspresikan hakikat ketuhanan.
Nasr juga menyatakan bahwa adalah bertentangan dengan kebijakan dan keadilan Tuhan untuk membiarkan agama-agama dunia dalam kesesatan selama ribuan tahun, padahal berjuta-juta manusia telah mencarijalan keselamatan.Dengan demikian, pluralisme Agama merupakan “kehendak Tuhan” dan sebagai akibatnya semua agama benar dan dapat diikuti. Nasr berpendapat bahwa “memeluk atau percaya kepada agama apapun, kemudian mengamalkan ajaran-ajarannya secara sempurna beearti memeluk dan beriman kepada semua agama”.
Pemikiran Nasr ini banyak diikuti oleh mahasiswa, dosen, dan pemikir muslim di dunia Islam, sehingga dia merupakan tokoh yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan islam tradisional.
Istilah Pluralisme Agama tidak sama dengan istilah Pluralitas Agama, sebab Pluralisme Agama adalah faham yang mengakui kesamaan agama-agama,sedangkan Pluralitas Agama adalah pengakuan tentang wujudnya agama-agama dalam masyarakat.
Setiap agama mengakui kebenaran dan keunggulan agamanya masing-masing, dan tidak mengakui kebenaran agama lain, walau tetap bersikap untuk menghargai dan menghormati agama lain. Sedangkan dalam paham pluralisma Agama , setiap agama harus mengakui kebenaran agama lain, malahan menafikkan kebenran mutlak dalam agama masing-masing, sehingga semua agama adalah sama, tuhan semua agama adalah sama, sebab semua agama mnyembah Tuhan yang sama dengan cara yang berbeda-beda sebagaimana dikatakan oleh Husein Nasr “ semua agama adalah jalan-jalan menuju puncak yang sama.
Oleh sebab itu paham pluralisme agama, atau apapun namanya seperti istilah multi kulturalisme atau apapun namanya, yang penting jika mengajarkan kesamaan semua agama , maka hal itu bertentangan dengan ayat al Quran :
“Sesungguhnya agama yang diterima disisi Allah Adalah Agama Islam”.
(QS.Ali Imran : 19) Dalam ayat lain, Allah menegaskan :
“siapa saja yang mengambil selain agama Islam sebagai agamanya, maka Allah tidak akan menerima agama itu dan di akhirat nanti ia akan merugi” (QS.Ali Imran : 85).

BAB V
KESIMPULAN

Sejarah perkembangan peradaban Barat memang telah melewati masa yang sangat panjang, yakni kurang lebih dari dua puluh lima abad. Priode modern sejarah perkembangan perdaban barat, bukanlah sebuah priode yang muncul begitu saja diruang hampa, melainkan ada keterkaitan dengan priode-priode sebelumnya. Dan pada abad ke-IV dan XVI, manusia barat modern ingin melepaskan diri dari dominasi gereja yang sedemikian rupa mendukung kebebesannya. Dengan kebebasan itulah manusia barat modern mampu mengembengkan perdabannya sedemikian cepat, sehingga mencapai kemajuan seperti sekarang ini. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa yang menjadi elan vital dari kemajuan barat modern adalah pandangan dunianya yang menekankan sentralnya peran akal, kebebasan dan otonomi manusia. Dengan itu, manusia Barat dapat menciptakan dan menentukan dunianya, membuat sejarah dan masa depanya sendiri. Menurut parah ahli sejarah, awal terjadi pristiwa modern ditandai dengan pergeseran teosentris ke antroposentris dalam kehidupan masyarakat. Pergesran tersebut merupakan suatu hal khas barat atau dunia kristiani. Oleh karena itu, pergeseran tersebut sama dengan mengatakan terjadinya pergeseran otoritas yang awalnya dimonopoli oleh gereja, kemudian ke individu. Akan tetapi, secara umum pergeseran tersebut bisa dimaknai, jika menggunakan sudut pandang kalangan perenialis, lepas atau tercabutnya dimensi spiritual dalam kehidupan masyarakat. Setelah berkembang selama hampir empat abad sejak kelahirannya pada abad ketujuh belas, dewasa ini ilmu pengetahuan modern dalam keadaan kritis, paling tidak dengan landasan filosofisnya. Kondisi demikian menyebabkan peradaban modern juga berada dalam kondisi kritis. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ilmu pengetahuanlah yang menjadi tulang punggung peradaban modern.
Kelahiran postmodernisme juga sebagai reaksi terhadap pemikiran modern yang juga telah berubah menjadi mitos baru. Filsafat modern yang lahir sebagai reaksi terhadap sikap dogmatis abad pertengahan, menurut kaum postmodernisme telah terjebak dalam membangun mitos-mitos baru. Mitos-mitos itu ialah suatu keyakinan bahwa dengan pemikiran filsafat, ilmu pengetahuan, dan aplikasinya dalam teknologi, segala persoalan kemanusiaan dapat terselesaikan. Di sinilah postmodernisme “menggugat” modernisme yang telah mandeg dan berubah menjadi mitos baru.
Istilah Pluralisme Agama tidak sama dengan istilah Pluralitas Agama, sebab Pluralisme Agama adalah faham yang mengakui kesamaan agama-agama,sedangkan Pluralitas Agama adalah pengakuan tentang wujudnya agama-agama dalam masyarakat.
Setiap agama mengakui kebenaran dan keunggulan agamanya masing-masing, dan tidak mengakui kebenaran agama lain, walau tetap bersikap untuk menghargai dan menghormati agama lain. Sedangkan dalam paham pluralisma Agama , setiap agama harus mengakui kebenaran agama lain, malahan menafikkan kebenran mutlak dalam agama masing-masing, sehingga semua agama adalah sama, tuhan semua agama adalah sama, sebab semua agama mnyembah Tuhan yang sama dengan cara yang berbeda-beda sebagaimana dikatakan oleh Husein Nasr “ semua agama adalah jalan-jalan menuju puncak yang sama.

Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

1 komentar:

  1. Justru tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah dari internal. Betapa banyak umat ini yang jauh dari ajaran agama, apakah itu kaum muda maupun para orang tua, laki dan perempuan. Tidak tanggung-tanggung anak-anak pun terancam. itu karena umat ini tidak kokoh akidahnya. Jika akidah umat ini telah tegak, tantangan sebesar apapun dari luar akan dapat diatasi

    BalasHapus

jang puas dengan apa yang ada di blog ini, berikan komentar anda?