KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA

ALASAN MEMPELAJARI KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi kita yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi kita dengan orang lain selalu mengandung potensi komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena kita akan selalu berada pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa pun kecilnya perbedaan itu.


Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan menimbulkan komunikasi yang tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau timbul kesalahpahaman. Akibat dari kesalahpahaman-kesalahpahaman itu banyak kita temui dalam berbagai kejadian yang mengandung etnosentrisme dewasa ini dalam wujud konflik-konflik yang berujung pada kerusuhan atau pertentangan antar etnis.

Sebagai salah satu jalan keluar untuk meminimalisir kesalahpahaman-kesalahpahaman akibat perbedaan budaya adalah dengan mengerti atau paling tidak mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi lintas budaya dan mempraktekkannya dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Kebutuhan untuk mempelajari komunikasi lintas budaya ini semakin terasakan karena semakin terbukanya pergaulan kita dengan orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda, disamping kondisi bangsa Indonesia yang sangat majemuk dengan berbagai ras, suku bangsa, agama, latar belakang daerah (desa/kota),latar belakang pendidikan, dan sebagainya.
Untuk memerinci alasan dan tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya Litvin (1977) menyebutkan beberapa alasan diantaranya sebagai berikut:
1. Dunia sedang menyusut dan kapasitas untuk memahami keanekaragaman budaya sangat diperlukan.
2. Semua budaya berfungsi dan penting bagi pengalaman anggota-anggota budaya tersebut meskipun nilai-nilainya berbeda.
3. Nilai-nilai setiap masyarakat se”baik” nilai-nilai masyarakat lainnya.
4. Setiap individu dan/atau budaya berhak menggunakan nilai-nilainya sendiri.
5. Perbedaan-perbedaan individu itu penting, namun ada asumsi-asumsi dan pola-pola budaya mendasar yang berlaku.
6. Pemahaman atas nilai-nilai budaya sendiri merupakan prasyarat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai budaya lain.
7. Dengan mengatasi hambatan-hambatan budaya untuk berhubungan dengan orang lain kita memperoleh pemahaman dan penghargaan bagi kebutuhan, aspirasi, perasaan dan masalah manusia.
8. Pemahaman atas orang lain secara lintas budaya dan antar pribadi adalah suatu usaha yang memerlukan keberanian dan kepekaan. Semakin mengancam pandangan dunia orang itu bagi pandangan dunia kita, semakin banyak yang harus kita pelajari dari dia, tetapi semakin berbahaya untuk memahaminya.
9. Pengalaman-pengalaman antar budaya dapat menyenangkan dan menumbuhkan kepribadian.
10. Keterampilan-keterampilan komunikasi yang diperoleh memudahkan perpindahan seseorang dari pandangan yang monokultural terhadap interaksi manusia ke pandangan multikultural.
11. Perbedaan-perbedaan budaya menandakan kebutuhan akan penerimaan dalam komunikasi, namun perbedaan-perbedaan tersebut secara arbitrer tidaklah menyusahkan atau memudahkan.
12. Situasi-situasi komunikasi antar budaya tidaklah statik dan bukan pula stereotip. Karena itu seorang komunikator tidak dapat dilatih untuk mengatasi situasi. Dalam konteks ini kepekaan, pengetahuan dan keterampilannya bisa membuatnya siap untuk berperan serta dalam menciptakan lingkungan komunikasi yang efektif dan saling memuaskan.

Sedangkan mengenai tujuan mempelajari komunikasi lintas budaya, Litvin (1977) menguraikan bahwa tujuan itu bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk:
1. Menyadari bias budaya sendiri
2. Lebih peka secara budaya
3. Memperoleh kapasitas untuk benar-benar terlibat dengan anggota dari budaya lain untuk menciptakan hubungan yang langgeng dan memuaskan orang tersebut.
4. Merangsang pemahaman yang lebih besar atas budaya sendiri
5. Memperluas dan memperdalam pengalaman seseorang
6. Mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri.
7. Membantu memahami budaya sebagai hal yang menghasilkan dan memelihara semesta wacana dan makna bagi para anggotanya
8. Membantu memahami kontak antar budaya sebagai suatu cara memperoleh pandangan ke dalam budaya sendiri:asumsi-asumsi, nilai-nilai, kebebasan-kebebasan dan keterbatasan-keterbatasannya.
9. Membantu memahami model-model, konsep-konsep dan aplikasi-aplikasi bidang komunikasi antar budaya.
10. Membantu menyadari bahwa sistem-sistem nilai yang berbeda dapat dipelajari secara sistematis, dibandingkan, dan dipahami.

PENGERTIAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Komunikasi lintas budaya merupakan salah satu bidang kajian Ilmu Komunikasi yang lebih menekankan pada perbandingan pola-pola komunikasi antar pribadi diantara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan.
Pada awalnya, studi lintas budaya berasal dari perspektif antropologi sosial dan budaya sehingga kajiannya lebih bersifat depth description, yakni penggambaran yang mendalam tentang perilaku komunikasi berdasarkan budaya tertentu.
Banyak pembahasan komunikasi lintas budaya yang berkisar pada perbandingan perilaku komunikasi antarbudaya dengan menunjukkan perbedaan dan persamaan sebagai berikut:
1. Persepsi, yaitu sifat dasar persepsi dan pengalaman persepsi, peranan lingkungan sosial dan fisik terhadap pembentukan persepsi
2. Kognisi, yang terdiri dari unsur-unsur khusus kebudayaan, proses berpikir, bahasa dan cara berpikir.
3. Sosialisasi, berhubungan dengan masalah sosialisasi universal dan relativitas, tujuan-tujuan institusionalisasi; dan
4. Kepribadian, misalnya tipe-tipe budaya pribadi yang mempengaruhi etos, dan tipologi karakter atau watak bangsa.

PERBEDAAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DENGAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA, KOMUNIKASI TRANSRASIAL DAN KOMUNIKASI INTERNASIONAL.

Jika komunikasi lintas budaya lebih menekankan pada perbandingan pola-pola komunikasi antarpribadi diantara peserta komunikasi yang berbeda kebudayaan, maka studi komunikasi antarbudaya lebih mendekati objek melalui pendekatan kritik budaya.
Aspek utama dari komunikasi antar budaya adalah komunikasi antar pribadi diantara komunikator dan komunikan yang kebudayaannya berbeda.










Dari gambar satu di atas terlihat bahwa komunikasi antar budaya merupakan komunikasi antar pribadi dari kebudayaan yang berbeda. Tidak masalah apakah kejadian itu terjadi dalam satu bangsa atau antar bangsa yang berbeda, yang jelas adalah budayanya yang berbeda. Selanjutnya untuk menghindari ketumpangtindihan yang sering terjadi maka selanjutnya kita akan membicarakan kajian komunikasi internasional.
Komunikasi internasional merupakan komunikasi yang bersifat interaktif yang menggunakan media. Objek formal komunikasi internasional senantiasa berhubungan dengan media massa yang dianggap sebagai agen penyebaran berita-berita internasional dari media “sumber” di satu negara kepada “penerima” di negara lain.
Komunikasi internasional pada umumnya melibatkan dua atau lebih negara di mana produk komunikasi massa disebarkan melintasi batas negara melalui struktur jaringan komunikasi tertentu.
Secara lebih spesifik, studi-studi komunikasi internasional dapat dikategorikan atas pendekatan maupun metodologi sebagai berikut:
1. Pendekatan peta bumi (geographical approach) yang membahas arus informasi maupun, liputan internasional pada bangsa atau negara tertentu, wilayah tertentu, ataupun lingkup dunia, disamping antar wilayah.
2. Pendekatan media (media approach), adalah pengkajian berita internasional melalui satu medium atau multi media.
3. Pendekatan peristiwa (event approach) yang mengkaji satu peristiwa lewat medium.
4. Pendekatan ideologis (ideological approach), yang membandingkan sistem pers antar bangsa atau melihat penyebaran arus berita internasional dari sudut ideologis semata-mata.
Selanjutnya kita akan membicarakan tentang komunikasi transrasial. Transrasial berarti melintasi batas rasial. Dalam antropologi, konsep transrasial ini sama dengan konsep antar etnik. Smith (1973) mengatakan bahwa kelompok etnik adalah sekelompok orang yang dipersatukan oleh kesamaan warisan sejarah, kebudayaan, aspirasi, cita-cita dan harapan, tujuan, bahkan kecemasan dan ketakutan yang sama. Pemahaman terhadap konsep transrasial ini dapat diikuti pada gambar berikut:








Keterangan:
EP: ethic perspective
BAV: Behavioral, attitude, values
Gambar. 2 MODEL KOMUNIKASI TRANSRASIAL/LINTAS BUDAYA


Dari gambar di atas terlihat bahwa komunikasi transrasial dilakukan antara dua orang yang berbeda etnik/ras. Dimana masing-masing inisiator mengirimkan pesan melintasi suatu “ambang” batas simbol-simbol yang dapat dipahami bersama.
Komunikasi transrasial sebenarnya memiliki kemiripan dengan komunikasi lintas budaya, hanya saja dalam komunikasi transrasial lebih diarahkan pada proses komunikasi internasional yang meliputi komunikasi diantara mereka yang berbeda etnik dan ras. Komunikasi transrasial bisa berbentuk diadic dan bisa juga berbentuk komunikasi massa.
Ada empat kategorisasi komunikasi transrasial “diadic” yang didasarkan pada: 1) Kesamaan kodifikasi, yang meliputi proses pembakuan kode-kode komunikasi/simbol dan “sign” yang tumpang tindih; 2) Kedekatan pengirim dan penerima; 3) masalah perspektif; dan 4) Keterampilan umum berkomunikasi.

MEMAHAMI DAN MENDEFINISIKAN KOMUNIKASI DAN BUDAYA
Komunikasi lintas budaya terjadi bila pengirim pesan adalah anggota dari suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari suatu budaya yang lain. Oleh karena itu, sebelum membicarakan Komunikasi Lintas Budaya lebih lanjut kita akan membahas konsep komunikasi dan budaya dan hubungan diantara keduanya terlebih dahulu.
Pembicaraan tentang komunikasi akan diawali dengan asumsi bahwa komunikasi berhubungan dengan kebutuhan manusia dan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Kebutuhan berhubungan sosial ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari seorang komunikator kepada komunikan. Dan proses berkomunikasi itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin tidak dilakukan oleh seseorang karena setiap perilaku seseorang memiliki potensi komunikasi.
Proses komunikasi melibatkan unsur-unsur sumber (komunikator), Pesan, media, penerima dan efek. Disamping itu proses komunikasi juga merupakan sebuah proses yang sifatnya dinamik, terus berlangsung dan selalu berubah, dan interaktif, yaitu terjadi antara sumber dan penerima.Proses komunikasi juga terjadi dalam konteks fisik dan konteks sosial, karena komunikasi bersifat interaktif sehingga tidak mungkin proses komunikasi terjadi dalam kondisi terisolasi. Konteks fisik dan konteks sosial inilah yang kemudian merefleksikan bagaimana seseorang hidup dan berinteraksi dengan orang lainnya sehingga terciptalah pola-pola interaksi dalam masyarakat yang kemudian berkembang menjadi suatu budaya.
Adapun budaya itu sendiri berkenaan dengan cara hidup manusia. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi semuanya didasarkan pada pola-pola budaya yang ada di masyarakat.
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.(Mulyana, 1996:18)
Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan satu sama lain, karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siap, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Budaya merupakan landasan komunikasi sehingga bila budaya beraneka ragam maka beraneka ragam pula praktek-praktek komunikasi yang berkembang.

MEMAHAMI PERBEDAAN-PERBEDAAN BUDAYA
Budaya adalah gaya hidup unik suatu kelompok manusia tertentu. Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh sebagian orang dan tidak dimiliki oleh sebagian orang yang lainnya – budaya dimiliki oleh seluruh manusia dan dengan demikian seharusnya budaya menjadi salah satu faktor pemersatu.
Pada dasarnya manusia-manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Individu-individu sangat cenderung menerima dan mempercayai apa yang dikatakan budaya mereka. Mereka dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat dimana mereka tinggal dan dibesarkan, terlepas dari bagaimana validitas objektif masukan dan penanaman budaya ini pada dirinya. Individu-individu itu cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan “kebenaran” kultural atau bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaannya. Inilah yang seringkali merupakan landasan bagi prasangka yang tumbuh diantara anggota-anggota kelompok lain, bagi penolakan untuk berubah ketika gagasan-gagasan yang sudah mapan menghadapi tantangan.
Setiap budaya memberi identitas kepada sekolompok orang tertentu sehingga jika kita ingin lebih mudah memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam msaing-masing budaya tersebut paling tidak kita harus mampu untuk mengidentifikasi identitas dari masing-masing budaya tersebut yang antara lain terlihat pada:
• Komunikasi dan Bahasa
Sistem komunikasi, verbal maupun nonverbal, membedakan suatu kelompok dari kelompok lainnya. Terdapat banyak sekali bahasa verbal diseluruh dunia ini demikian pula bahasa nonverbal, meskipun bahasa tubuh (nonverbal) sering dianggap bersifat universal namun perwujudannya sering berbeda secara lokal.
• Pakaian dan Penampilan
Pakaian dan penampilan ini meliputi pakaian dan dandanan luar juga dekorasi tubuh yang cenderung berbeda secara kultural.
• Makanan dan Kebiasaan Makan
Cara memilih, menyiapkan, menyajikan dan memakan makanan sering berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Subkultur-subkultur juga dapat dianalisis dari perspektif ini, seperti ruang makan eksekutif, asrama tentara, ruang minum teh wanita, dan restoran vegetarian.
• Waktu dan Kesadaran akan waktu
Kesadaran akan waktu berbeda antara budaya yang satu dengan budaya lainnya. Sebagian orang tepat waktu dan sebagian lainnya merelatifkan waktu.
• Penghargaan dan Pengakuan
Suatu cara untuk mengamati suatu budaya adalah dengan memperhatikan cara dan metode memberikan pujian bagi perbuatan-perbuatan baik dan berani, lama pengabdian atau bentuk-bentuk lain penyelesaian tugas.
• Hubungan-Hubungan
Budaya juga mengatur hubungan-hubungan manusia dan hubungan-hubungan organisasi berdasarkan usia, jenis kelamin, status, kekeluargaan, kekayaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan.
• Nilai dan Norma
Berdasarkan sistem nilai yang dianutnya, suatu budaya menentukan norma-norma perilaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Aturan ini bisa berkenaan dengan berbagai hal, mulai dari etika kerja atau kesenangan hingga kepatuhan mutlak atau kebolehan bagi anak-anak; dari penyerahan istri secara kaku kepada suaminya hingga kebebasan wanita secara total.
• Rasa Diri dan Ruang
Kenyamanan yang dimiliki seseorang atas dirinya bisa diekspresikan secara berbeda oleh masing-masing budaya. Beberapa budaya sangat terstruktur dan formal, sementara budaya linnya lebih lentur dan informal. Beberapa budaya sangat tertutup dan menentukan tempat seseorang secara persis, sementara budaya-budaya lain lebih terbuka dan berubah.
• Proses mental dan belajar
Beberapa budaya menekankan aspek perkembangan otak ketimbang aspek lainnya sehingga orang dapat mengamati perbedaan-perbedaan yang mencolok dalam cara orang-orang berpikir dan belajar.
• Kepercayaan dan sikap
Semua budaya tampaknya mempunyai perhatian terhadap hal-hal supernatural yang jelas dalam agama-agama dan praktek keagamaan atau kepercayaan mereka.

MAKNA PERSPEKTIF TEORITIS
Teori-teori Komunikasi Lintas Budaya merupakan teori-teori yang secara khusus menggeneralisasi konsep komunikasi diantara komunikator dengan komunikan yang berbeda kebudayaan, dan yang membahas pengaruh kebudayaan terhadap kegiatan komunikasi.
DR. Alo Liliweri mengatakan bahwa paling tidak ada tiga sumber yang bisa digunakan untuk menggeneralisasi teori komunikasi lintas budaya, yakni:
1. Teori-teori komunikasi antar budaya yang dibangun akibat perluasan teori komunikasi yang secara khusus dirancang untuk menjelaskan komunikasi intra/antar budaya.
2. Teori-teori baru yang dibentuk dari hasil-hasil penelitian khusus dalam bidang komunikasi antar budaya.
3. Teori-teori komunikasi antar budaya yang diperoleh dari hasil generalisasi teori ilmu lain, termasuk proses sosial yang bersifat isomorfis.

MAKNA PERSPEKTIF SUBJEKTIF/EMIK
Pada prinsipnya dalam penelitian yang menggunakan perspektif ini maka peneliti “menjadikan dirinya” sebagai bagian dari kebudayaan yang dia teliti, atau dengan kata lain, peneliti bertindak sebagai partisipan penuh karena dia masuk dalam suatu struktur budaya tertentu.(Liliweri, 2001:34)
Dalam penelitian berperspektif subjektif ini biasanya peneliti akan menolak masukan variabel kebudayaan lain ke dalam kebudayaan yang sedang diteliti. Oleh karena itu, para peneliti yang menggunakan perspektif ini kerap kali mendapat kritik karena gambaran yang diberikan tentang kebudayaan yang ditelitinya terlalu sedikit. Pendekatan subjektif pun sering mengkritik peneliti yang menarik kesimpulan tentang suatu budaya tertentu berdasarkan ukuran-ukuran yang berlaku pada kebudayaan lain.

MAKNA PERSPEKTIF OBJEKTIF/ETIK
Dalam penelitian yang menggunakan perspektif objektif ini seorang peneliti akan menggunakan dua pendekatan kebudayaan yang berbeda terhadap objek tertentu.
Penggunaan perbedaan kebudayaan dilakukan untuk menunjukkan dimensi dan variabilitas kebudayaan dan untuk menunjukkan bahwa teori-teori komunikasi antar budaya tidak dimaksudkan untuk meneliti perbedaan budaya.
Berikut adalah tabel yang dapat memudahkan kita untuk memahami perbedaan perspektif subjektif/emik dengan perspektif objektif/etik dalam komunikasi antar budaya.

Emik Etik
1. Peneliti mempelajari perilaku manusia dari dalam kebudayaan objek penelitian 1. Peneliti mempelajari perilaku manusia dari luar kebudayaan objek penelitian
2. Peneliti hanya meneliti satu kebudayaan 2. Peneliti menguji banyak kebudayaan dan membandingkan kebudayaan tersebut
3. Struktur kebudayaan ditemukan sendiri oleh peneliti 3. Struktur diciptakan oleh peneliti
4) Umumnya kriteria-kriteria yang diterapkan ke dalam karakteristik kebudayaan sangat realtif 4. Kriteria-kriteria kebudayaan bersifat mutlak dan berlaku universal


TEORI-TEORI BERDASARKAN PERSPEKTIF ILMU KOMUNIKASI
Gundykunst (1983) mengemukakan bahwa terdapat lima pendekatan dalam ilmu komunikasi yang diasumsikan dapat menerangkan komunikasi lintas (antar) budaya. Kelima pendekatan tersebut adalah:
1. Teori Komunikasi berdasarkan analisis kebudayaan implisit .
Kebudayaan implisit adalam kebudayaan immmaterial, kebudayaan yang bentuknya tidak nampak sebagai benda namun dia “tercantum” atau “tersirat” dalam nilai dan norma budaya suatu masyarakat, misalnya bahasa.
Pendekatan kebudayaan implisit mengandung beberapa asumsi yaitu:
1). Kebudayaan mempengaruhi skema kognitif
2). Kebudayaan mempengaruhi organisasi tujuan dan strategi tindakan
3). Kebudayaan mempengaruhi pengorganisasian skema interaksi; dan
4). Kebudayaan mempengaruhi proses komunikasi.
2. Teori Analisis Kaidah Peran.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan maka diketahui bahwa telah terjadi beragam variasi penerapan prinsip-prinsip teori “kaidah peran”. Beberapa isu yang menonjol misalnya:
1). apa saja sifat dasar yang dimiliki suatu masyarakat
2). Apa yang dimaksudkan dengan kaidah peran?
3). Apa hubungan antara aktor dan kaidah persan? Apakah setiap kaidah peran mampu menerangkan atau mengakibatkan perilaku tertentu?
3. Teori analisis Interaksi antar budaya
Ada beberapa pendektan ilmu komunikasi yang sering digunakan untuk menerangkan interaksi antar budaya, yakni:
1). Pendekatan jaringan metateoritikal, yaitu studi tentang bagaimana derajat hubungan antar pribadi
2). Teori Pertukaran. Inti teori ini mengatakan bahwa hubungan antarpribadi bisa diteruskan dan dihentikan. Makin besar keuntungan yang diperoleh dari hubungan antarpribadi maka makin besar peluang hubungan tersebut diteruskan. Sebaliknya makin kecil keuntungan yang diperoleh, maka makin kecil peluang hubungan tersebut diteruskan.
Wood (1982) dalam Liliwer (1994) mengidentifikasi 12 karakteristik pendekatan pertukaran tersebut:
1) Prinsip individual, 2) Komunikasi Coba-coba, 3) Komunikasi eksplorasi, 4) Komunikasi euphoria, 5) Komunikasi yang memperbaiki, 6) komunikasi pertalian, 7) Komunikasi sebagai pengemudi, 8) komunikasi yang membedakan, 9) Komunikasi yang disintegratif, 10) Komunikasi yang macet, 11) Pengakhiran komunikasi, 12) Individualis.

4. Teori pengurangan tingkat kepastian
Berger (1982) menyatakan bahwa salah satu dari fungsi utama komunikasi adalah fungsi informasi yaitu untuk mengurangi tingkat ketidakpastian komunikator dan komunikan. Setiap individu memiliki keinginan yang kuat untuk memperoleh informasi tertentu tentang pihak lain. Berger merekomendasikan strategi pencarian informasi sebagai berikut:
1) Mengamati pihak lain secara pasif,
2) Menyelidiki atau menelusuri pihak lain,
3) menanyakan informasi melalui pihak ketiga,
4) penanganan lingkungan kehidupan pihak lain,
5) Interogasi,
6) Membuka diri.

PERSPEKTIF TEORITIS, PENGEMBANGAN TEORI BARU.
Pendekatan perspektif teoritis terhadap komunikasi lintas budaya juga bisa bersumber dari penelitian khusus dalam bidang komunikasi lintas budaya. Teori-teori yang muncul antara lain:
1. Teori Tiple M
Menurut Mowlana (1989) ada tiga unsur penting dalam teori ini yaitu masyarakat massa, media massa, dan budaya massa. Ketiganya berhubungan satu sama lain membentuk segitiga sebagaimana terlihat dalam gambar berikut:











Gambar 3. HUBUNGAN ANTARA MASYARAKAT MASSA, MEDIA MASSA DAN BUDAYA MASSA

2. Model Determinisme Teknologi
Masih menurut Mowlana, dikatakan bahwa media massa yang berkaitan dengan budaya suatu masyarakat itu sebagian besar ditentukan oleh teknologi. Apabila teori determinisme teknologi ini dikaitkan dengan media massa dan kebudayaan, maka teori ini memiliki 2 kelemahan yaitu:
a. Teori determinisme teknologi hanya memandang satu aspek tertentu dari media yaitu bentuk material atu teknologi sebagai karakter pokok yang berarti dan sangat menentukan.
b. Banyak pandangan teori ini yang hanya berdasarkan peristiwa historis dan pengalaman yang dialami oleh dunia barat.

3. Teori Ekonomi Politik
Teori ini mempertanyakan hubungan antara masyarakat massa, media massa, budaya massa sebagaimana yang digambarkan oleh Teori Triple M. Menurut teori ini, media massa tidak selalu menjadi sebab atau pembentuk budaya massa, melainkan hanya bertindak sebagai saluran penyampaian isi budaya saja.

4. Teori Cultural Studies dan Post Modernism
Perspektif ini meletakkan kerangka bagi suatu interpretasi budaya mengenai peranan teknologi komunikasi dan sistem media yang berkembang tahun 1970-an. Hall memandang media massa merupakan instrumen yang penting dari kapitalisme abad ke-20 yang berfungsi memelihara hegemoni ideologi. Media massa dianggap mampu menetapkan kerangka budaya massa.

5. Teori integratif.
Teori ini memunculkan konsep dan fenomena pluralisme budaya dalam kajiannya.

PERSPEKTIF TEORITIS, KONTRIBUSI DARI DISIPLIN LAIN

 Kebudayaan dan proses atribusi, analisis faktor penghambat efektivitas komunikasi
Hubungan kebudayaan dan proses atribusi dengan efektivitas komunikasi antarmanusia akan dijawab melalui teori proses atribusi dan kebudayaan.
Teori atribusi dimulai dengan mempersoalkan bagaimana cara individu mengorganisir dan memahami makna informasi dari setiap peristiwa dan tindakan tersebut sebagaimana yang dia alami.
Proses atribusi biasanya dimulai dengan tindakan individu mengamati objek secara langsung, sehingga dia bisa mendapatkan informasi tentang objek (individu) tersebut dan memahaminya.
Heider dalam Rakhmat (1998) mengungkapkan dua jenis atribusi, yaitu atribusi kausalitas, intinya mempertanyaan apakah perilaku orang lain itu dipengaruhi oleh faktor personal ataukah faktor situasional dan atribusi kejujuran, yang mempertanyakan sejauh mana pernyataan seseorang menyimpang dari pernyataan umum dan sejauh mana orang tersebut mendapatkan keuntungan dari pernyataan anda.
Freedle dalam Gundykunst (1983) menyebutkan bahwa kualitas atribusi dipengaruhi oleh budaya atributor.

BEBERAPA ASPEK TERAPAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Dalam kajian ilmu komunikasi, yang dimaksudkan dengan aspek-aspek komunikasi adalah semua ihwal yang menjadi objek material ilmu komunikasi. Yaitu: 1) Bentuk-bentuk komunikasi; 2) Sifat-sifat; 3) metode; 4)teknik; 5)fungsi; 6) tujuan; 7) model; 8) bidang-bidang; 9) sistem komunikasi.

PRINSIP DAN STRATEGI PELAKSANAAN
Dalam menyusun perencanaan komunikasi lintas budaya ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yakni:
1. Prinsip keselarasan (compatible)
2. Prinsip kesesuaian dengan kebutuhan (need) sasaran, terutama menjawab masalah need berdasarkan tahap-tahap kebutuhan dari Maslow (kebutuhan biologis, sosiologis dan psikologis).
3. Prinsip pelaksanaan suatu proses belajar mengajar yang efektivitasnya dipengaruhi oleh sifat atau ciri sasaran masyarakat di desa, tenaga pengajar, fasilitas, materi dan kondisi lingkungan.
4. Prinsip pelaksanaan yang bertujuan mengembangkan sikap, pengetahuan,keteranpilan dan sikap serta kemampuan masyarakat di desa sasaran.
Selanjutnya perencanaan komunikasi tersebut dilakukan dengan strategi sebagai berikut:
1. Konsolidasi, yaitu memantapkan dan mengembangkan ketenagaan dan kelembagaan yang tangguh dan mendukung kerja “proses komunikasi”.
2. Integrasi, yaitu menggalang keterpaduan kerja dengan lembaga atau pihak lain yang potensial untuk meningkatkan, daya guna dan hasil guna perencanaan proses komunikasi
3. Implementasi, yaitu menerapkan metode dan teknik perencanaan proses komunikasi termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta materi perencanaan.

Sesuai dengan aspek-aspek yang terlibat dalam suatu proses komunikasi maka kita harus menentukan:
1. Sasaran/komunikan. Seorang perencana komunikasi lintas budaya harus bisa mengidentifikasi masalah sasaran dengan cermat. Untuk memudahkan pendekatan terhadap sasaran yang jumlahnya banyak, beragam dan sukar dijangkau, maka perencana komunikasi harus mensegmentasikan sasaran ke dalam kelompok-kelompok yang lebih homogen.
2. Komunikator. Komunikator yang handal adalah komunikator yang memiliki kredibilitas tertentu. Ada tiga jenis kredibilitas yaitu ethos, pathos dan logos.
3. Pesan. Dalam konteks komunikasi lintas budaya, pesan merupakan tema-tema yang dibicarakan bersama oleh peserta komunikasi. Dalam hal ini seorang komunikator membutuhkan:
a. Pengetahuan tentang bentuk-bentuk pesan verbal masyarakat sasaran.
b. Pengetahuan terhadap isi pesan.
4. Media. Merupakan alat bantu demi tercapainya efektivitas komunikasi. Beberapa bentuk media yang sifatnya hardware dan software, yaitu:
a. Sarana komunikasi, seperti radio komunikasi, radio kaset, slide, tv, dan lain-lain.
b. Sarana transportasi
c. Alat bantu komunikasi yang biasa dipakai dalam penyuluhan, misalnya media unit-unit percontohan, produk hasil teknologi, dan lain-lain.
d. Gedung, balai pertemuan atau tempat terbuka untuk pertemuan.
5. Metode dan teknik. Ada beberapa metode yang bisa dipilih, yaitu:
a. metode penyampaian atau memperoleh pesan yang bersifat informatif
b. membujuk
c. instruktif.
Sementara untuk teknik yang digunakan adalah teknik dialogis, yang dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Sikap mendengarkan
b. Bertanya kepada kelompok sasaran.
6. Konteks. Yaitu situasi dan kondisi yang bersifat lahir dan batin yang dialami para peserta komunikasi sehingga diharapkan bisa mempengaruhi setiap proses komunikasi.

RUANG LINGKUP PENELITIAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Penelitian komunikasi lintas budaya memfokuskan perhatian pada bagaimana budaya-budaya yang berbeda berinteraksi dengan proses komunikasi; bagaimana komponen-komponen komunikasi berinteraksi dengan komponen-komponen budaya.
Komponen-komponen Budaya
Disiplin yang menelaah komponen-komponen budaya adalah antropologi budaya, sehingga penelitian komunikasi lintas budaya harus mengacu pada disiplin tersebut dalam mengidentifikasi dan mendeskripsikan komponen budaya.
Asante mengemukakan enam komponen budaya yang penting:
1. Komponen Pandangan Dunia.
Setiap budaya punya caranya yang khas dalam memandang dunia-dalam memahami, menafsirkan dan menilai dunia. Ketika komunikasi lintas budaya terjadi, pandangan dunia akan mempengaruhi proses penyandian dan pengalihasandian. Pandangan dunia juga dapat dipakai untuk memdiagnosis “noise” yang terjadi dan menunjukkan “terapi”-nya.
2. Komponen Kepercayaan (beliefs).
Salah satu unsur kepercayaan yang sangat penting dalam komunikasi lintas kultural adalah citra (image) kita dengan komunikasi dari budaya lain. Citra mempengaruhi perilaku kita dalam hubungannya dengan orang yang citranya kita miliki. Citra menentukan desain pesan komunikasi kita.
3. Komponen nilai.
Sistem nilai masyarakat dalam budaya tertentu mempengaruhi cara berpikir anggota-anggotanya. Spranger mengemukakan kategori nilai yang terkenal antara lain: nilai ilmiah, nilai religius, nilai ekonomis, nilai estetis, nilai politis dan nilai sosial.
4. Nilai sejarah
Lewat sejarah yang mereka ketahui, anggota masyarakat saling bertukar pesan dalam komunikasi lintas budaya.
5. Komponen Mitologi.
Mitologi suatu kelompok budaya memberikan pada kelompok pemahaman hubungan-hubungan, yakni, hubungan orang dengan orang, orang dengan kelompok luar, dan orang dengan kekuatan alami.
6. Komponen otoritas status.
Setiap budaya mempunyai caranya sendiri dalam mendiskusikan otoritas status. Bersamaan dengan otoritas status ada permainan peran yang ditentukan secara normatif.

BAGAIMANA PENELITIAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA DILAKUKAN?
Selama ini penelitian komunikasi lintas budaya memiliki kelemahan yang diakibatkan oleh karena penelitian komunikasi yang dilakukan selama ini telah melanggar asas perbedaan. Ada lima kelemahan penelitian komunikasi lintas budaya menurut Tulsi B. Saral (1979), yaitu:
1. Dalam budaya Barat, tekanan terlalu banyak pada penggunaan indera visual dan auditif; padahal setiap bangsa berbeda dalam mengindera stimuli.
2. Hampir semua studi komunikasi lintas budaya terbatas pada apa yang dapat dipersepsi atau diekspresikan.
3. Penelitian juga bertumpu pada apa yang dianggap sebagai objektif truth. Pandangan dunia tentang realitas tunggal menguasai asumsi-asumsi penelitian
4. Para teoritisi barat, cenderung memisahkan jiwa dari tubuh, individu dari lingkungan, kesadaran individu dari kesadaran kosmis.
5. Kebanyakan studi komunikasi didasarkan pada model linear yang mekanistis. Model ini sangatlah tidak cocok untuk melukiskan komunikasi lintas budaya yang holistik.

Pemilihan Paradigma: Positivistik atau Naturalistik
Positivisme ditegakkan pada logiko – empirisme. Dimana sesuatu dipandang ada bila dapat diukur; bila dapat dihitung dengan bilangan.
Untuk komunikasi lintas budaya pengukuran misalnya bisa dilakukan dengan menggunakan skala world minded attitudes dari Sampson dan Smith atau internasionalism dari Free dan Cantrill.
Paradigma positivisme – yang mengasumsikan realitas tunggal, objektif dan identik – sangat bertentangan dengan asumsi perbedaan dalam komunikasi lintas budaya. Dalam positivisme realitas dikonstruksi seperti yang dikehendaki peneliti bukan seperti yang dikehendaki responden.
Dalam perkembangannya kemudian muncul paradigma naturalistik sebagai reaksi terhadap paradigma positivisme. Paradigma ini beranggapan bahwa realitas adalah hasil konstruksi kita; karena setiap orang mengkonstruksi realitas kita mengenal banyak realitas. Pengamat dan yang diamati berhubungan secara interaktif, saling mempengaruhi.
Tujuan penelitian tidak lagi memperoleh pengetahuan nomothetik (hukum-hukum yang dapat digeneralisaikan) tetapi mencari dan mengembangkan pengetahuan idiografik (penjelasan tentang kasus-kasus. Terakhir, penelitian naturalistik selalu terikat dengan nilia-nilai (value-bound).
Paradigma naturalistik lebih relevan lagi dengan penelitian komunikasi yang melihat komunikasi sebagai proses. Dan juga sangat relevan untuk digunakan dalam penelitian komunikasi lintas budaya.
Untuk uraian lebih lanjut tentang kedua metode penelitian tersebut maka bisa dibaca dalam berbagai buku metode penelitian sosial yang ada diantaranya buku Metode Penelitian Komunikasi karya Jalaluddin Rakhmat dan Metode Penelitian kualitatif karya L.L. Moleong.

Referensi:
Leach, Edmund. Culture and Communication, The Logic by which symbols are connected. Cambridge University Press.1976
Liliweri, Alo. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Mulyana, Deddy, dan Jalaluddin Rakhmat. (Editor) Komunikasi antar Budaya. Panduan berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996

Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Posting Komentar

jang puas dengan apa yang ada di blog ini, berikan komentar anda?