Al-Qur'an dan Bahasa Arab

Defenisi Al-Qur'an
Dari sekian nama-nama wahyu, al kitab dan al-Qur'an adalah yang lebih akrab bagi umat islam. Dalam hal ini Dr. Muhammad Abdullah Daraz berkata bahwa “ ia dinamakan Al-Qur'an karna ia ‘dibaca’ dengan lisan, dan dinamakan Al kitab karna ia ‘ditulis’ dengan pena. Kedua nama ini menunjukan makna yang sesuai dengan kenyataannya ”. Secara bahasa kitab adalah masdar dari kata kataba yang dimaknakan dengan makna isim maf’ul, yaitu maktub (yang ditulis). Surat yang ditulis untuk dikirim kepada seseorang juga disebut kitab. Bahkan orang arab memaksudkan juga dengan perkataan kitab, tempat belajar menulis (maktab).
Sedangkan al-Qur'an menurut bahasa adalah ‘bacaan’ atau ‘yang dibaca’. Qur’an adalah masdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul yaitu maqru’ (yang dibaca) . Jadi penamaan qur’an dengan kedua nama ini memberikan isyarat bahwa selayaknyalah ia dipelihara dalam bentuk hafalan dan tulisan. dengan demikian, apabila diantara sala satunya ada yang melenceng maka yang lainnya akan meluruskan. Ini juga menandakan bahwa al-Qur'an memberikan gambarab akana dasar-dasar proses ilmu pengetahuan, proses belajar mengajar, dari Allah kepada manusia semenjak diturunkannya al-Qur'an. Allah berfirman yang bunyinya :
علم الانسن مالم يعلم
Artinya : “Dia mengajar kepada manusaia apa yang tidak diketahuinya” .


Ayat ini menegaskan bahwa Allah mengajar manusia terhadap segala apa yang tidak diketahui oleh manusia. Karna pada dasarnya manusia tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatupun, kecuali dengan kemurahan Allah memberikan bekal berupa indera, akal, hati serta wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya sebagaimana juga ditegaskan dalam firman-Nya .
Berbeda dengan anggapan kaum sophist yang mengatakan bahwa manusia tidak akan pernah mencapai sebuah kebenaran mutlak. Ilmu pengetahuan ataua kebenaran mutlak bagi mereka adalah sebuah kemustahilan. Naquib Al Attas membagi para sophist kedalam tiga kelompok sala satu dari ketiganya yaitu kelompok al-laadriyyah atau agnostic, disebut dengan kelompok ini karna selalu mengatakan tidak tahu atau selalu ragu-ragu tentang keberadaan sesuatu, sehingga menolak kemungkinan seseorang meraih ilmu pengetahuan (knowledge/certainty). Pembagian golongan ant ilmu kedalam tuga kelompok tersebut sejak zaman silam dilakukan oleh para sarjana muslimseperti Al-Baghadadi (w 1037/8 M) Al Nasafi (W 1142 M) dll.
Islam adalah Addin (agama) atau al haqq (kebenaran) yang bukan hanya sekedar konsep, tetapi merupakan ungkapan yang diterjamahkan dengan amat baik ke sdalam realitas, dan dihidupi dalam pengalaman manusia. Sumber tertinggi dari pengertian diin dan haqq diturunkan dari wahyu al-Qur'an, yang mengungkapkan adanya perjanjian (al mitsaq) anara lain pra eksistensi manusia dengan Tuhan . Berbicara Al Haqq dalam hal ini ‘kebenaran’ tidak hanya mengacu kepada pernyataaan tetapi juga tindakan, perasaan, kepercayaan, penilaian, serta hal-hal dan kejadian-kejadian dalam eksistensi. Hal-hal dan kejadian-kejadian yang ditunjuk oleh haqq bukan hanya berkaitan dengan kondisinya sekarang, tetapi juga kondisi yang lalu dan yang akan datang, haqq artinya perifikasi, realisasi, dan aktualisasi .
2. Sejarah Karakter Bahasa Arab
Sebelum melangkah lebih jauh mengenai sejarah karakter bahasa Arab pelku digaris bawahi bahwa al-Qur'an diwahyukan bukan dalan bentuk tulisan. Melainkan dalam bentuk lisan yang dihafalkan oleh para sahabat yang sejak zaman dahulu. Yang dimaksud dengan ‘membaca’ al-Qur'an adalah membaca dari ingatan . Hal ini perlu dipahami mengingat selama ini orientalis memilioki pemahaman ayang keliru mengenai al-Qur'an. Sehingga mereka menganggap pariasi bacaan rasm al-Qur'an sebagai bukti konkrit gugurnya keyakinan umat islam akan autentisitas al-Qur'an.
Asal usul karakter bahasa Arab sifatnya masih spekulatif, jadi bukan suatu hal yang aneh jika skemudian orientalis melakukan banyak rekayasa mengenai hal ini . Sehingga suatu langkah yang tepat jika Syamsudin Arif meberikan penegasan bahwa al-Qur'an bukan berasal dari tulisan. Sebab dari kesalahan memahami awal al-Qur'an ini telah mendorong orientalis pada kesimpulan yang jauh serta menyesatkan. Dalam masalah ini kiat bisa memperhatikan bagaimana pernyataan dari para orientalis mengenai sejarah bahasa Arab.
Breatice gruendler misalnya dia menyatakan bahwa semua skrip arab berasal dari alpabet Funicia, karena dalam benaknya bahasa Arab yang paling jauh terisolasi. Perubahan drastic terjadi dalam susunan spatial memberi isyarat bahwa kemungkinan skrip bahasa Nabatean atau Syiriak yang menjadi perantara perkembangan skrip bahasa Arab. Pernyataan Gruendler ini semakin kuat seiring pengakuan yang disampaikan oleh Theodor Noldeke pada tahun 1865 yang menyatakan bahwa skrip Nabatean memberi pengakuan terhadap yang pertama pempengaruhi perkembangan skrip arab kufi yang selanjutnya pengakuan ini diamini oleh orientalis lain di antaranya M. A. Lavy, M. De vogue, J. Karabacek dan J. Euting.
Akan tetapi lima puluh tahun kemudian kesepakatan orientalis bahwa bahasa Arab berasal dari Alpabet Funicia mulai memudar. Setidaknya dikarenakan adanya teori baru yang dimunculkan oleh J. Starcky yang menegaskan bahwa Bahasa Arab berasal dari tulisan bahasa syiriak yang berbentuk meruncing (Syiriac Cursive). Sementara itu dipahak lain Y. Khalil Al Nami mengatakan bahwa “hijaz adalah merupakn tempat kelahiran evolusi tulisan (script) arab bagian utara, bukan daerah-daerah lain, termasuk hirah.
Terlepas dari syiriak, timbul anggapan lain yang menyatakan bahwa buddaya lain yang dianggap mempengaruhi tulisan arab kuno Palaeography adalah Nabatean. Menurut Dr. Jum’a, telaah kajian menyeluruh yang dilakukan oleh para ilmuan yang memiliki otoritas, membuktikan bahwa bahasa Arab telah mengambil tulisan dari Nabatean. Mengenai hal ini Abbort menyimpulkan bahwa skrip arab yang digunakan diawal permulaan islam adalah perkembangan tulisan arab nabatean aramaik yang muncul pada awal permulaan abad masehi.
Dalam bahasan lebih jauh disebutkan bahwa Nabatean adalah nama yang dinisbatkan kepada Nabat/Nebajoth yang merupakan sala satu putra dari dua belas orang putra Nabi Ismail as. Yang kemudian berhijrah ke arah utara. Keturunan Nabat inilah yang kemudian mendirikan dinasti Nabatean (600 SM-50 M). perlu diketahui bahwa Nabat dalam hidupnya hanya menggunakan bahasa arab dalam komunikasinya. Hal ini tentu karena sejak kecil Nabat dididik dengan bahasa Arab oleh sang ayah Nabi Ismail as .
Dengan demikian dapat dipahami dengan jelas bahwa pendapat orientalis yang menyatakan bahwa bahasa Nabatean berikut skripnya mempengaruhi skrip sdan bahasa Arab adalah nishbi karena yang terjadi sesungguhnya adalah bahasa Arab telah melahirkan bahasa Nabatean yang kemungkinan besarnya muncul sebelum bahasa Syiriak.
3. Sifat Ilmiah Bahasa Arab

Jika kia berbicara tentang metodologi dan penarapan secara tepat symbol-simbol linguistic,pertimbangan kita yang pertama adalah memahami sifat ilmiah bahasa Arab yang merupakan bahasa Islam, dan dasar sains Islam serta alat untuk memproyeksikan visi-visinya tentang hekekat dan kebenaran. Yang saya maksudkan dengan “ilmiah” adalah aspek defenitif yang menandai sains, karena sains adalah defenisi baik dalam arti hadd, rasm dan hakikat .
Jika tuhan yang maha Agung dan maha tinggi telah berfirman bahwa qur’an suci dalam bahasa Arab tidak mengandung penyelewengan makna makay dimaksudkan-Nya adalah bahasa Arab itu sendiri. Dengan kata lain al-Qur'an benar-benar merupakan sumber ilmu yang benar, dengan demikian maka bahasa Arab juga jauh dari Kemungkinan salah atau penyimpangan dari jalan yang lurus, tidak melenceng kamana-mana dan juga tanpa distorsi.
Berbeda dengan bahasa-bahasa lain yang bisa mengalami perubahan simantik akibat perubahan sejarah dan masyarakat serta penapsiran-penapsiran relative dan subyektik atas symbol-simbol linguistic mereka. Jadi sehubungan dengan makna, bahasa tidak dapat menjamin ketepatan ilmiah, khususnya makna-makna yang memuat ketepatan mutlak dan obyektif . bahasa Arab tidak termasuk dalam katagori bahasa –bahasa lainnya itu berkenaan dengan stuktur semanticnya. Setidaknya dapat didasarkan pada beberapa fakta berikut :
 Struktur linguistiknya dibangun atas suatu system “akar-akar” kata yang tegas.
 Struktur simantiknay diatur oleh suatu system medan semantic (semantic field) tertentu yang menentukan struktur konseptual yang terdapat dalam kosa katanya. Dan juga dimantapkan secara permanent oleh hal yang tersebut dalam no 1 diatas.
 Kata-kata, makna-makna, tata bahasa dan persajakan ttelah direkam dan dimantapkan secara ilmiah sedemikian rupa, sehingga bisa memelihara ketetapan semantiknya.

Bahasa Arab dan Ulumul Qur’an
Setelah mengenal lebih jauh akan kondisi Bahasa Arab yang telah terislamisasikan, maka tidak akan sampai pada makna dan tujuan yang tekandung di dalam Al-Qur'an sebelum secara mahir menguasai seluk-beluk Bahasa Arab. Sebagai bahasa wahyu Bahasa Arab dapat dijelaskan secara singkat sbb :
a. Struktur bahasa Arab senantiasa merjuk pada sistem “akar kata”
b. Struktur pemaknaan (semantic) bahasa ini secara jelas melekat pada kosa-katanya (vocabulary) dan secara permanent merujuk pada akar katanya.
c. Kata, makna, grammar, dan syair dalam bahasa Arab secara scientific selalu mengawal dan memlihara pemaknaand penafsiran suatu kalimat, sehingga tidak pernah terjadi pergeseran.
Dengan demikian dapat dipahami dengan baik bahwa bahasa Arab sebagai bahasa wahyu adalah suatu komponen yang tidak terpisahkan dari Al-Qur'an itu sendiri. Sebab tanpa merujuk pada bahasa Arab maka Al-Qur'an tidak akan pernah tergambar secara jelas dalam kepala setiap muslim. Dengan kata lain untuk memahami Al-Qur'an dengan benar maka menguasai bahasa Arab dengan baik dan benar adala kunci untyuk bisa memahami Al-Qur'an secara benar.
Dari sifat keilmiahan bahasa Arab inilah melahirkan beberapa ilmu Bantu dalam memahami Al-Qur'an yang disebut dengan ‘Ulumul Qur’an’. Berikut ini akan dipapar beberapa ilmu bantu sebagai saran untuk mmperolah makna yang akurat dan valid antara lain ilmu Tafsir, ilmu rosm Al-Qur'an dan ilmu Qiro’ah. Ketiga cabang ilmu Bantu tersebut merupakan ilmu murni sebagai produk dari wahyu yang kemudian Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Memberikan tuntunan kaidah-kaidah penafsiran teks wahyu kepada para sahabatnya meskipun belum menjadi sebuah ilmu yanhg tersusun secara sistimatik. Begitu juga bekanaan dengan bacaan dan Qiro’ah Al-Qur'an.

B. Autentisitas Al-Qur'an

Penjelasan mengenai autentisitas al-Qur'an ini merupakan suatu tema penting yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Utamanya diera modern saat ini, diman gema seruan perlunya penafsiran ulang atau reinterpretasi al-Qur'an dan ajaran Islam kian massif. Isu HAM, terorisme dan emensipasi wanita menjadikan banyak umat Islam yang kini dalam kondisi “kebinggungan” dan perlahan-lahan jika dibiarkan mereka akan mengalami keraguan terhadap autentisitas al-Qur'an.
Sejarah yang telah mencatat bahwa al-Qur'an telah terbukti sebagai suatau yang menciptakan peradaban dan tradisi menulis yang sangat tinggi dan tidak mendapat perhatian dari para orientalais. Merka lebih mengedepankan egonya dengan menyatakan bahwa metode modrn adalah kerangka berfikir sistematis yang benar dan oleh karena itu layak untuk digunakan dalam membongkar kitab suci umat Islam itu.
Sebelum kelahiran Islam, tak ada sumber yang mencatat akan adanya buku bahasa Arab di semenanjung arab. Al-Qur'an lah kitab pertama yang ditunjukan kepada umat Islam. Penghargaan yang tinggi dari para sahabat telah menjadikan al-Qur'an lestari dari pencemaran dan terjaga keutuhannya dan keasliannya hingga saat ini. Hal ini sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada kitab suci Yahudi dan Kristen yang nyaris telantar justru ditangan orang-orang yang diharapkan menjadi pembela setianya .
Berbicara autentisitas al-Qur'an sebuah tema yang sebenarnya tidak perlu dibicarakan. Bukan karena ini tidak penting tetapi lebih karena kita labih mengetahui dan menyakini berdasarkan ilmu. Akan tetapi bagi mereka yang membenci Islam dan peradaban al-Qur'an adalah suatu bahasan penring yang perlu diermasalahkan. Inilah salah satu factor juga mengapa kita perlu mengkaji lebih baik lagi mengenai al-Qur'an kahususnya aspek autentisitasnya. Sebab katidak mampuan kita menjelaskan hal tersebut akan menjadi boomerang yang sangat mematikan.
Menarik apa yang disimpulakan oleh Muhammad Qutb dalam bukunya jahiliah al Qarn al Isyrin ditegaskan bahwa kejahiiyaan tersebut bukan membenci Islam karena dalam hati kacilnya tidak mengetahui adanya keberadaan dan kebaikan dalam Islam, dan bukan pula karena ia sungguh yaki bahwa kebatilan yang sedang dihayatinya itu lebih baik dan lebih benar dari pada Islam. Tidak demikian soalnya sebab kejahiliyaan tersebut membenci Islam dalam keadaan ia mengetahui benar adanya kebenaran dan kebaikan dalan Islam. Ia pun tahu benar bahwa Islamlah yang dapat meluruskan hal-hal yang bengkok dalam kehidupan manusia! Kajahiliyaan itu membenci Islam karena Islam bertekat hendak mempertahankan yang serba bengkok dan tidak ingin ada yang meluruskannya. Kajahiliyaaan modern ingin supaya semua persoalan tetap bengkok dan jangan sampai lurus! Ia benci Islam karena ia memang jahiliyah, sedang yang di bencinya adalah Islam! ”
Mengapa hal tersebut mereka lakukan? Adnin Armas memberikan ulasan yang tepat mengenai hal tersebut, tambahnya kalangan Yahudi dan Kristen telah lama menghujat al-Qur'an. Hal ini bisa dimengerti karena mereka menolak jika al-Qur'an meluruskan pondasi agama Yahudi dan Kristen. Sebagaimana firma-Nya ( QS, 5:72-73, 9:31, 4:157, 9:30)
Menjelang dasawarsa pertama dari abad 21 “ the atlantic monthly” (januari 199) meluncurkan serangan besar terhadap autentisitas al-Qur'an. Dengan menyatakan bahwa al-Qur'an merupakan dokumen sejarah, mereka mencoba membuktikan bahwa al-Qur'an bukanlah firman Tuhan dan karenanya Islam tak lain hanyalah konstruksi sejarah yang melayani kepentingan politik pihak-pihak tertentu yang sudah lama bercokol, seperti kaum pagan Arab, dan lain-lainnya . Tulisan Muqtadier tersebut adalah kayakainan para orientalis terhadap Islam sejak pertama kali Islam hadir di jazirah Arabia. Mulai dari leo III (717-741M) sampai pada Martin Luther (1483-1546 M) yang popular sebagai “the father of reformation”
Seiring dengan perkembangan intelektualitas orientalis dan pengalaman mereka dalam mengkaji Islam maka abad ke-19 M upaya penerapan Biblical Criticsm ke dalam studi al-Qur'an pun dimulai. Orientalis yang termasuk pelopor awal dalam mengunakan biblical Critism ke dalam al-Qur'an adalah Abraham Geiger (1874 M) seorang rabi sekaligus pendiri Yahudi liberal Jerman. Pada tahun 1833 Geiger menulis What hat Muhammad aus den judenthume aufgenommen? (Apa yang telah Muhammad pinjam dari Yahudi) ? dalam karyanya tersebut, ia menyatakan vahwa sumber-sumber Al-Qur'an dapat dilacak dalam agama Yahudi .
Sala seorang orientalis terkemuka lain yang turut menerapkan biblical criticsm dalam studi Al-Qur'an adalah Athur Jafery. Ia berasal dari Australia dan penganut Kristen metodist. Ia menghabiskan hamper seluruh hidupnya untuk mengkaji Al-Qur'an. Ia berpendapat agama yang memiliki kitab suci akan memiliki masalah dalam sejarah tes (tekstual history) ini disebabkan tidak satupun autobiografidari naskah asli dulu yang masih ada. Setiap pemilik agama tidak memiliki naskah-naskah warisan melainkan telah mengalami perubahan di berbagai komunitas masyarakat. Dengan kata lain tidak satu naskah pun yang tidak berubahManuskrip-manuskrip awal Al-Qur'an misalnya tidak memiliki titki dan baris, serta ditulis dengan khat kufi yang berbeda dengan tulisan yang saat ini diginakan. Jadi, modernisasi tulisan otografi, yang melengkapi teks dengan tanda titik dan baris, sekalipun memiliki tujuan yang baik, namun itu telah merusak teks asli yang telah berlangsung sekian lama dari generasi ke generasi di dalam komunitas masyarakat .
Pada puncaknya Athur Jefery (1959 M), seorang orientalis berasal dari Australia itu menegaskan bahwa, tidak ada yang istimewa dalam sejarah Al-Qur'an. Sejarahnya sama saja dengan kitab-kitab suci yang lain. Al-Qur'an menjadi teks standar dan dianggap suci, padahal ia telah melalui beberapa tahap. Dalam pandangan Jefery, sebuah kitab suci iu dianggap suci karena tindakan masyarakat (the action fo community). Tindakan komunitas masing-masing agama yang menjadikan sebuah kitab itu suci. Jefery mengatakan bahwa “komunitaslah yang menentukan masalah itu suci atau tidak. Komunitaslah yang memilih dan mengumpulkan bersama tulisan-tulisan tersebut untuk kegunaannya sendiri, yang komunitas merasa bahwa ia mendengar suara otoritas keagamaan yang otentik yang sah untuk pengalaman keagamaan yang khusus”. Disebutkan pula bahwa fenomena demikian itu umumterjadi dalam komunitas lintas agama .

Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Posting Komentar

jang puas dengan apa yang ada di blog ini, berikan komentar anda?